Minggu, 22 Maret 2015

UPACARA KELAHIRAN DI ADAT BATAK



UPACARA KELAHIRAN DI ADAT BATAK

http://www.gobatak.com/wp-content/uploads/2012/10/martutu-aek-baptisan-batak-kuno.jpg

Nilai budaya Batak Toba yang menjadi sumber sikap perilaku sehari-hari dalam kehidupannya terikat pada sistem kekerabatan Batak Toba itu sendiri. Kekerabatan itu sendiri sangat erat dengan kelahiran, dan kelahiran itu menumbuhkan kekerabatan baik secara vertikal maupun secara horizontal. Kelahiran menentukan kedudukan seseorang pada sistem kemasyarakatan Batak Toba. Karena tingginya nilai yang terdapat pada kekerabatan itu maka batak toba beridentitas pada marga dan garis keturunan yang disebut Tarombo atau Silsilah. Semua suku batak toba sangat menghargai marga dan silisilahnya. Berdasarkan marga dan silsilah itulah ditentukan kedudukan seseorang pada kelompok keluarga dan masyarakatnya yang berkaitan pada Dalihan Natolu.
Seorang anak sulung pada suatu keluarga merupakan mata ni ari binsar atau matahari pagi bagi keluarga itu sendiri. Anak pertama dipandang oleh keluarga memiliki hikmad kebiijaksanaan. Anak sulung mempunyai tanggungjawab yang besar bagi keluarga karena apabila seorang ayah meninggal nantinya maka anak sulung lah yang mengurus keluarga ataupun menggantikan posisi seorang ayah dalam keluarga. Itulah sebabnya anak suklung itu mempunyai karisma dan wibawa. Anak sulung merupakan hikmad keluarga yang mengandung makna spiritual dan sifatnya bersifat ritual. Dikatakan ritual karena apabila si adik berani mendahului si anak sulung atau lebih kepada anak laki-laki, maka akan terasa pada diri adiknya itu sesuatu yang tidak sempurna, dalam hidupnya ia akan merasa bersalah dan akan merupakan siksaan pada dirinya sehari-hari.
Pada zaman dahulu, budaya rasa dari kelahiran diwujudkan dalam bentuk sistem pemerintahan batak toba. Misalnya, pemerintahan pada huta-huta bolon-lumban-atau horja dan sampai saat inipun budaya rasa hikmad tersebut masih dihayati orang batak toba pada lingkungan kekeluargaan dan acara-acara adapt. Seorang anak sulung atau anak yang lahir sebagai abang tidak dapat bertindak sesuka hatinya atau yang disebut otoriter. Kepemimpinan pada batak toba berturut-turut dari anak pertama sampai dengan anak yang paling bungsu atau yang disebut dengan garis patriakhal .

I. Upacara-upacara
a. upacara menjelang kelahiran
Manusia berada di kandungan selama sembilan namun menurut keyakinan suku batak pada zaman dahulu apalagi khususnya dengan ugamo malim, terjadinya manusia menjalani rentan waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu hanya sembuilan bulan, dan munurut orang batak selama tiga bulan lagi berada di dalam kandungan ayahnya. Sebab jika tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak mengandung.
Keyakinan suku batak terhadap kodrat kandungan pada zaman dahulu yaitu :
Bulan 1 : benih tiga bulan dalam kandungan ayah. Benih kejadian ada pada ibu. Roh dan Rohani bercampur dengan roh jasmani ditambah kodrat Mulajadi berdiam di bumi suci rahim ibu.

Bulan 2 : tel;ah bertambah Debata Natolu di bumi suci dimana mendapat getaran, dan jika sudah ketemu maka akan terbentuk, hal ini terjadi sampai bulan ke empat.
Bulan 5 : pada bulan kelima, terjadilah proses terbentuknya otak manusia dalam bumi suci.
Bulan 6: prosesbulan keenam adalah proses terjadinya urat manusia dan sudah mulai bergerak.
Bulan 7: pada bulan ketujuh adalah proses terjadinya tulang.
Bulan 8: pada bulan kedelapan bayi sudah hamper rampung dan sudah mulai bolak-balik seta mulai terjadinya rambut.
Bulan 9: - proses pemisahan air ketuban
- proses pemisahan bungkus
- proses pemisahan tali-tali
- proses pemisahan darah pengiring maut
- dan tinggal menunggu hari lahirnya.
Setelah sembilan bulan dalam kandungan maka bayi tersebut mulai berputar, selama tujuh hari. Tiba pada hari ketujuh setelah bayi tersebut berputar sebayak tujuh kali, maka pintu bumi pun terbuka dan bayi tersebut keluar dan kemudian menangis memulai hidup ke zaman ini.
Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan saumi istri jangan dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit batuk-batuk, dan cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala yang diinginkan sebaiknya harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si anak yang akan lahir di kemudian hari akan terkendala dalam mencari hidup”. Sebelum si ibu melahirkan, sebaiknya orang tua dari si ibu memberikan makanan adat batak berupa ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan agar si ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara .
Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil Sibaso (dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk melahirkan yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan kemudian dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu untuk ditelan. Daun ubi rambat dan daun bunga raya direbus beserta air dari pancuran disaring lalu diminumkan kepada si ibu mengarah ke bawah.


b. upacara saat terjadi kelahiran
Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang akan lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara demonstrative walaupun kelahiean itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu dilakukan di depan rumahnya dengan menuimbulkan suaa keras dan jendela rumah pun dibuka lebar-lebar dan asap pun membubung dari perapian dapur. Inilah yang menjadi tanda bahwa ada terjadi kelahiran, sehingga warga kampung merasa terpanggil untuk melihat kebahagiaan tersebut.
Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu, lalu sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman ari-ari bayi pada orang batak biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama hidup hanya satu kali kita bisa lihat wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku batak meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau saudara dari anak yang baru lahir dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari itu harus dijaga dengan baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok kecil yang diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut, dan tujuh lembar daun sirih.
Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan mengunyahnya dan kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan dalam saluran pencernaan makanan yang pertama yang disebut Tilan (kotoran pertama), bahkan siduku memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam, bersama Soit (sebuah anyaman kalu7ng yang terdapat dari sebuah kayu) dan hurungan Tondi (buah kayu yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut terus menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk memotong pusar tadi, yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.

 

c. upacara setelah kelahiran
 
Ø Mangirdak :dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan dalam memberikan semangat.

Ø Pemberian Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.

Ø Mengharoani: sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.

Ø Martutu Aek: pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja . Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.

Ø Mengallang Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan memotong ayam dan memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau ”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah melahirkan tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah. Makna spiritualitas yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap warga yang sekampung dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.

Ø Selain jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit atau Marambit (harafiahnya berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang diadakan keluarga untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi). Pada kesempatan inilah keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah yang disebut indahan arian (makan siang) kepada cucunya ataupun pemberian seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang dapat dibagi-bagikan semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.

Ø Mebat atau Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka keluarga pun memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau melawat (mebat,mengebati) kepada ompungnya (terutama ompungbao) dan keluarga lain seperti tulang. Ketika melakukan kunjungan, keluarga ini membawa makanan (memotong seekor babi) kepada ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos parompa (ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen batak modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan sebab makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara emosional kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.

Ø Paias Rere: ada kalanya suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung mertuanya dan melahirkan anak disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu, keluarga mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima kasih atas kesibukan mertua dalam mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen batak modern yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere ini harus dikritisi dan diberi makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi kita anak laki-laki dan perempuan sama saja. Inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Paias Rere.

Ø Ulos Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao kepada cucunya. Pada zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekaranfg dalam prakteknya ulos parompa tinggal merupakan symbol kasih ompungbao sebab komunitas batak modern sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau ayunan untuk menggendong bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama di kota-kota untuk mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi seolah-olah semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir. Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas yang terkandung dalam pemberian ulos parompa adalah menunjukkan kedekatan atau perhatian yang besar dari ompungbao kepada si anak yang lahir itu.

Ø Dugu-dugu: sebuah makanan cirri khas batak pada saat melahirkan, yang diresep dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini bertujuan untuk mengembalikan peredaran urat bagi si ibu yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor bagi ibu yang melahirkan, menambah dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus memberikan kekuatan melalui asi kepada anknya.

Referensi :

UPACARA SAUR MATUA : KONSEP ”KEMATIAN IDEAL” PADA MASYARAKAT BATAK



UPACARA SAUR MATUA : KONSEP ”KEMATIAN IDEAL” PADA MASYARAKAT BATAK
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAJ2MfHVYiCf_0nbulLWqvdjDe-P6dyymTiBC-hgzQr8IcGz3b0BmKsf8uS2pmwuwQaW5Wk3vat6UO48UWcq46JSGr_VRPvLAMpf1YD4uhv1WrpGVntMepy9q_tya8DkoFhRcc7c7zpNOq/s1600/upacara+kematian+batak+toba.jpg

Kematian. Satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan.  Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi.
Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini (Sumardjo,2002:107). Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia.
Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.
Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan sangat khas. Ya, adat budaya kematian suku Batak memang beda dari kebanyakan suku yang ada di Indonesia.
Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal.
II. Klasifikasi upacara adat kematian dalam tradisi masyarakat Batak
Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati. Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati: 1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan / mate punu), 2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), 3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah bercucu tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya
dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
II.1. Upacara Saur Matua di kalangan masyarakat Batak Kristen
II.1.1. Persiapan
Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara, dsb.
II.2. Pelaksanaan Upacara
Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya dihalaman rumah duka).
Jenazah yang telah dimasukkan kedalam peti mati diletakkan ditengah-tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Disebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan disebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Disinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban (sapi atau babi) yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas (orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa : juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara) (Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Namun bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Urutan pembagian jambar diawali pembagian jambar juhut. Daging yang dijadikan sebagai jambar juhut adalah kerbau atau kuda. Pemotongan daging juga dilakukan oleh pihak parhobas. Daging yang sudah dipotong, dibagi-bagi dalam keadaan mentah. Secara universal, pembagian jambar juhut itu adalah: 1.Kepala (ulu) untuk raja adat (pada masa sekarang adalah pembawa acara selama upacara), 2.Leher (rungkung atau tanggalan) untuk pihak boru, 3.Paha dan kaki (soit) untuk dongan sabutuha, 4.Punggung dan rusuk (somba-somba) untuk hula-hula, 5.Bagian belakang (ihur-ihur) untuk hasuhuton. Adapun dongan sahuta (teman sekampung), pariban (kakak dan adik istri kita) dan ale-ale (kawan karib), dihitung sama sebagai pihak dongan sabutuha (Sihombing,1986:34).


Gbr.1
Bagian-bagian dari kerbau yang dijadikan sebagai jambar juhut (kiri), jambar hepeng (tengah), sketsa ulos ragi idup sebagai ulos saput (kanan)
Selepas ritus pembagian jambar juhut, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang mati saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor). Tor-tor adalah tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat musik tradisional khas Batak). Gondang sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak, terdiri dari seperangkat instrumen yakni : 4 ogung, 1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1 gondang, 1 sarune. Adapun urutan gondang dalam upacara saurmatua seperti terangkum dalam tabel dibawah ini.
Gbr.2
Tabel urutan musik gondang yang dimainkan dalam upacara saur matua (kiri), pemain musik gondang sabangunan (kanan) (sumber :sinaga,1999, 1981)

Pada kesempatan manortor pihak tulang (saudara laki-laki ibu almarhum), menyelimutkan ulos ragi idup langsung ke badan mayat. Selain itu bona tulang (hula-hula dari pihak marga saudara laki-laki nenek almarhum) dan bona ni ari (hula-hula dari pihak marga ibu kakek almarhum) juga memberikan ulos (biasanya ulos sibolang). Ulos dikembangkan di atas peti mayat, sebagai tanda kasih sayang yang terakhir. Kemudian pihak hula-hula secara khusus mangulosi (menyematkan ulos) kepada pihak boru dan hela (menantu) sebagai simbol pasu-pasu (berkat) yang diucapkannya. Pihak hula-hula memberikan ulos sibolang sebagai ulos sampetua kepada istri / suami yang ditinggalkan, dengan meletakkan di atas bahu. Apabila orang yang mati telah lebih dahulu ditinggalkan istri / suaminya, tentunya ulos tidak perlu lagi diberikan). Kemudian hula-hula memberikan ulos panggabei kepada semua keturunan, dengan menyampirkan ulos (sesaat secara bergantian) di bahu masing-masing anak laki-laki yang tertua sampai yang paling bungsu (terakhir diberikan kembali ke anak lelaki tertua di sertai kata-kata berkat). Sama halnya yang dilakukan oleh pihak hula-hula, pihak tulang dari setiap hasuhuton juga melakukan ritus tersebut. Kemudian masing-masing wanita dari rombongan tulang
manortor sambil menjunjung boras
sipiritondi (beras tepung tawar yang bermakna pemberian berkat dan memperkuat tondi), untuk kemudian diserahkan kepada pihak hasuhuton. Sedangkan rombongan undangan lainnya (dongan sabutuha, boru, bere, pariban, teman-teman dari pihak hasuhuton) secara bergilir diundang untuk manortor (lihat pada tabel). Namun mereka tidak melakukan ritus pemberian pasu-pasu.
Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat) kepada pihak gereja. Ibadah bisa dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan kedalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya), ibadah singkat dipimpin oleh pihak gereja. Dapat dimulai dari nyanyian rohani pembuka, kotbah, nyanyian rohani penutup, dan doa penutup dari pihak gereja. Kemudian jenazah yang sudah di dalam peti yang tertutup dikuburkan.
Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.
Gbr.3
Jenazah didalam peti dikelilingi oleh para keturunannya (kiri), salah satu gerak tor-tor tengah), prosesi penguburan diserahkan kepada pihak gereja (kanan)
(sumber : sinaga, 1999)



III. Pembahasan
Semua manusia cepat atau lambat pasti mati. Kematian datang kapan saja, bisa di usia bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua. Seandainya manusia memiliki hak mutlak menentukan kapan dia harus mati, pasti akan lebih banyak memilih mati di masa ketika sudah sangat tua. Alasannya karena pada masa itu, segala pencapaian target hidup mungkin semuanya telah dipenuhi. Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi dari banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono,1984:24). Dalam masyarakat Batak Kristen terkini, model kematian seperti itu dinamakan dengan kematian saur matua. Namun apakah sudah sejak masa lampau, masyarakat Batak menganggap kematian saur matua sebagai sebuah kematian yang paling diinginkan? Hal ini menyangkut pendalaman terhadap rekonstruksi kebudayan religi masyarakat Batak sebelum masuknya agama Kristen.
Masyarakat Batak pra Kristen percaya bahwa kematian merupakan masa transisi perpindahan kehidupan alam nyata menuju kehidupan alam orang mati. Mereka percaya orang yang mati hanya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain (Siahaan,1964:45). Campur tangan orang yang masih hidup dibutuhkan dalam membantu orang mati, saat terjadinya perpindahan alam kehidupan tersebut. Konsep kepercayaan ini memunculkan daya cipta pengekspresian tingkah laku orang yang ditinggalkan si mati saat hendak mengantarkan si mati ke alam lain. Hal ini berkembang menjadi sebuah upacara kematian. Setelah lama dikubur, keluarga yang ditinggalkan ternyata masih merasa perlu mengekspresikan konsep kepercayaannya itu lagi. Konsep kepercayaan awal dari hanya untuk mengantarkan si mati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengannya melalui ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan. Terbukti, masyarakat Batak masih mengekspresikannya dalam sebuah upacara penguburan sekunder mangongkal holi. Istilah sekunder dipakai karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) pada saat kematiannya. Oleh karena itu, ketika diupacarakan lagi melalui aktivitas penggalian tulang-belulang si mati dari kubur primer, untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder, dapatlah disebut sebagai upacara penguburan sekunder (Simatupang,2005:5–6).
Pemujaan hanya dilakukan bagi arwah leluhur yang dianggap memiliki kuasa-pengaruh yang istimewa, berdasarkan kekayaan / kedudukan mereka sewaktu hidup (Schreiner,1978:167-168). Maka orang yang mati saur matua umumnya akan disembah dalam upacara saur matua, sedikit-dikitnya dari semua anaknya. Terjadi hubungan mutualisme (saling menguntungkan), karena penyembahan yang diterima arwah orang tua melalui upacara saur matua dan upacara mangongkal holi dari para keturunannya akan menambah kekuatan sahala leluhur di alam lain, sedangkan keturunannya mendapatkan berkat sahala dari orang tua yang mati tersebut. (Vergouwen,2004:77–78).
Semenjak masuknya agama Kristen hingga awal berdirinya gereja ditanah Batak (1824-1861), kebudayaan religi masyarakat Batak mengalami transformasi. Pada masa itu, para misionaris silih berganti masuk menyiarkan ajaran agama Kristen. Misionaris yang paling terkenal akan kesuksesan misinya adalah Dr. I. L. Nommensen (memulai tugas misinya pada tahun 1862 di Barus, lalu pindah ke daerah Silindung). Dalam waktu kira-kira lima puluh tahun sesudah kedatangan Nommensen misi Kristenisasi telah maju pesat. Ketika Nommensen meninggal pada tahun 1918, lebih dari 180.000 orang Batak telah dibabtis menjadi orang Kristen dengan 34 orang Batak menjadi pendeta (Lehman dalam Pedersen,1975:64). Berdirinya gereja HKBP pada tahun 1890 selanjutnya semakin menguatkan pengaruh Kristen pada masyarakat Batak. Tahun 1897 sampai 1952 merupakan masa dimana segala ritual upacara religi pra-Kristen dilarang untuk dipraktekkan dalam adat Batak. Momentum tahun 1952 dapat dijadikan sebagai event sosial transformasi, karena sejak tahun 1952 gereja HKBP melalui berbagai kebijakan yang pada akhirnya memperbolehkan kembali praktek upacara adat dengan berbagai perubahan sesuai dengan amanat gereja.
Gereja HKBP telah melakukan usaha-usaha kontekstualisasi dengan mengubah ritual upacara religi pra-Kristen dari orientasi religius pra-Kristen ke orientasi sosial-budaya masa kini yang tidak bertentangan dengan ajaran Kristen. Motivasi awal upacara saur matua di masa pra-Kristen adalah agar kekuatan sahala arwah orang tua kedudukannya bisa naik terus hingga setingkat dengan para dewa. Maka fungsi itu telah diubahkan. Upacara saur matua kembali eksis, asal tidak mempraktekkan ritual penyembahan terhadap orang yang mati tersebut (wawancara dengan Pdt. B. Tampubolon). Maka prosesi penguburan sebagai akhir upacara, diserahkan kepada perwakilan gereja. Sedangkan di masa pra-Kristen, yang memimpin upacara merupakan seorang tokoh dari pihak yang dikenal memiliki tingkatan sahala diatas rata-rata. Kemungkinan berasal dari kalangan raja adat atau kalangan datu. Raja adat adalah pimpinan dari sebuah bius (daerah teritorial sebuah marga) yang dipilih secara demokratis melalui penerapan konsep primus interpares. Sedangkan datu adalah seorang yang sakti seperti ahli pengobatan, ahli ramal, dan terutama ahli dalam ilmu agama (Marbun & Hutapea,1987:38).
Pada masa terkini, semakin tidak jelas apa yang diwajibkan sebagai perlengkapan yang harus disediakan dalam upacara saur matua. Sedangkan pada tahun 1980an, bila yang meninggal saur matua harus lengkap “marsanggul marata” (sijagaron) yang ditaruh dalam ampang (bakul) terdiri dari: 1. boni sitamba tua (menandakan sudah banyak turunan), 2. miak-miak (kemiri yang menunjukkan semangat dari nenek moyang), 3. gantang (menandakan sudah bercicit), 4. baringin (menandakan punya anak perempuan dan cucu), 5. pira ni manuk (telur ayam yang menandakan hidup baik), 6. sanggar (menandakan segala pencaharian almarhum selama ini diperoleh dengan cara baik-baik), 7. ampang menandakan bahwa yang meninggal adalah saur matua, ampang diletakkan didekat kepala almarhum, 8.suhut (pihak keluarga yang kemalangan memberikan adat penghormatan berupa makanan yang terdiri dari : tandok (sumpit) berisi kemiri 3 buah, telor satu buah, sirih lengkap dan uang dalam jumlah bilangan genap kepada pargonsi, diterima oleh parsarune (peniup sarune) sebagai pimpinan rombongan. Kemiri melambangkan semangat roh nenek moyang, telor melambangkan kesatuan dan hidup baik, uang dan sirih sebagai (wawancara dengan M. br Sipayung).
Kini masyarakat Batak Kristen memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah si orang tua agar kekuatan sahala diberikan kepada anak-cucunya, tetapi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugerah umur panjang kepada orang yang mati saur matua. Sedangkan konsep religi mati saur matua sebagai “kematian ideal” tetap dipertahankan, karena orientasi sosial budaya masa kini juga menganggap mati di usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik. Selain itu, motivasi pengadaan upacara saur matua pada masa kini diarahkan sebagai pendewasaan rohani secara adat maupun agama baru mereka (Kristen). Hal itu terwujud karena dalam upacara saur matua, masyarakat Batak dapat berkumpul dengan seluruh keluarga besar. Gagasan pendewasaan rohani tersebut mereka dapatkan setelah merefleksikan upacara saur matua menjadi sebuah bentuk ucapan syukur dari seluruh anak-cucu orang yang mati kepada Tuhan, bukan lagi kepada arwah leluhur (wawancara dengan Pastor Thomas Saragih, OFM. Cap).
Ada juga masyarakat Batak Kristen yang tidak setuju terkait kewajiban pelaksanaan upacara saur matua, karena kurang masuk akal dan tidak jelas tujuannya. Upacara saur matua sebagai “kematian ideal” menjadi kurang tepat dengan pemahaman iman Kristiani kalau didominasi oleh keinginan “pamer”. Apalagi sering terjadi, keluarga sudah “habis-habisan” membiayai perawatan orang tuanya dari mulai sakit-sakitan hingga meninggal, tapi masih harus “habis-habisan” membiayai upacara saur matua demi memenuhi tuntutan adat. Seharusnya adat tidak harus dijadikan beban. Pada masa terkini, berkembang pula pemikiran teologis dari denominasi Kristen yang berbeda dari HKBP, menyatakan upacara saur matua tidak penting untuk dilestarikan. Orang yang mati harus segera dikuburkan, tidak menunggu berhari-hari, apalagi manortor di depan peti terbuka berisi jenazah yang sudah sembab dan berair. Hal ini dapat merusak kesehatan meskipun jenazah telah disuntik formalin untuk memperlambat terjadinya pembusukan mayat.
IV. Penutup
Upacara saur matua merupakan warisan kebudayaan religi masyarakat batak sejak masa megaltik pra-Kristen. Upacara ini diyakini telah beberapa kali mengalami transformasi sejalan dengan perubahan yang terjadi pada kebutuhan dan problematika kehidupan dari waktu ke waktu. Menurut hemat penulis, upacara saur matua hendaknya tetap dilestarikan terkait dengan konsep “kematian ideal”. Namun hal itu menjadi sulit, apabila masyarakat Batak Kristen tidak merasakan pengalaman yang menyenangkan dan bermanfat dari upacara tersebut. Upacara saur matua harusnya dilakukan dengan tidak membebani secara berlebihan perekonomian anak-anaknya. Dilakukan dalam ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat umur yang panjang, hingga saat ajal menjemputnya, masih sempat melihat seluruh anak-anaknya telah berkelurga (bahkan telah memiliki cucu). Orang yang mati saur matua adalah sebuah “kebanggaan tersendiri” dalam pencapaian keinginan terakhir hidup manusia sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial. Perlu ditumbuhkan sikap kritis, peka, dan arif agar upacara saur matua terus mengalami transformasi menuju arah yang lebih baik, agar dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Batak (bahkan tidak hanya bagi yang beragama Kristen).