UPACARA SAUR MATUA : KONSEP
”KEMATIAN IDEAL” PADA MASYARAKAT BATAK

Kematian. Satu kata yang identik dengan kesedihan
dan air mata, serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan.
Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa
kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi.
Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan,
antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba
sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini (Sumardjo,2002:107).
Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada
dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena
cepat atau lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia.
Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.
Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.
Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan
pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan sangat khas. Ya, adat budaya
kematian suku Batak memang beda dari kebanyakan suku yang ada di Indonesia.
Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan
mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian.
Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang
yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate
di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti
mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat
anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung),
dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol),
keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi
selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan.
Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang
tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos
dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal.
II. Klasifikasi upacara adat kematian
dalam tradisi masyarakat Batak
Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan
mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian.
Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status si mati.
Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum
mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati
ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate
dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah
dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut
mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan
khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate
poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak
dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu)
si orang mati. Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat
apabila orang yang mati: 1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate
di paralang-alangan / mate punu), 2. Telah berumah tangga dengan
meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), 3. Telah
memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum
bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah memiliki cucu, namun masih ada
anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah bercucu tidak
harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua
menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya
telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya,
yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah
berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari
anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun
keduanya
dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
II.1. Upacara Saur Matua di
kalangan masyarakat Batak Kristen
II.1.1. Persiapan
Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur
matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan
musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan
upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan
natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat
Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula
(kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok
orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok
orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita,
keluarga perempuan pihak ayah). Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh
pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak
masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam
rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Rapat
membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat
sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas
masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara
seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik,
alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara, dsb.
II.2. Pelaksanaan Upacara
Pelaksanaan upacara bergantung pada
lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika seluruh putra-putri orang
yang mati saur matua dan pihak hula-hula telah hadir. Namun
karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering terpaksa berhari-hari
menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu kedatangan
anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo
raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak
upacara saur matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua
anggota keluarga, dapat dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima
kedatangan para pelayat (seperti masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah
ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan
terbuka yang cukup luas (idealnya dihalaman rumah duka).
Jenazah yang telah dimasukkan kedalam peti
mati diletakkan ditengah-tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti
bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Disebelah kanan peti jenazah adalah
anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan disebelah
kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing.
Disinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat
dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan
siang). Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara
menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan
kurban (sapi atau babi) yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas
(orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah
jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak
perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa : juhut
(daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata
(berbicara) (Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan
natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar
hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap
menggantikan jambar hepeng. Namun bagi keluarga status sosial
terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Urutan pembagian jambar diawali
pembagian jambar juhut. Daging yang dijadikan sebagai jambar juhut
adalah kerbau atau kuda. Pemotongan daging juga dilakukan oleh pihak parhobas.
Daging yang sudah dipotong, dibagi-bagi dalam keadaan mentah. Secara universal,
pembagian jambar juhut itu adalah: 1.Kepala (ulu) untuk raja adat
(pada masa sekarang adalah pembawa acara selama upacara), 2.Leher (rungkung
atau tanggalan) untuk pihak boru, 3.Paha dan kaki (soit) untuk dongan
sabutuha, 4.Punggung dan rusuk (somba-somba) untuk hula-hula,
5.Bagian belakang (ihur-ihur) untuk hasuhuton. Adapun dongan
sahuta (teman sekampung), pariban (kakak dan adik istri kita) dan
ale-ale (kawan karib), dihitung sama sebagai pihak dongan sabutuha
(Sihombing,1986:34).

Gbr.1
Bagian-bagian dari kerbau yang dijadikan
sebagai jambar juhut (kiri), jambar hepeng (tengah), sketsa ulos ragi
idup sebagai ulos saput (kanan)
Selepas ritus pembagian jambar juhut,
dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan
masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang
mati saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula,
dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere,
dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi
ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor).
Tor-tor adalah tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor
biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat musik tradisional
khas Batak). Gondang sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak,
terdiri dari seperangkat instrumen yakni : 4 ogung, 1 hesek , 5 taganing,
1 odap, 1 gondang, 1 sarune. Adapun urutan gondang
dalam upacara saurmatua seperti terangkum dalam tabel dibawah ini.

Gbr.2
Tabel urutan musik gondang yang dimainkan
dalam upacara saur matua (kiri), pemain musik gondang sabangunan (kanan)
(sumber :sinaga,1999, 1981)
Pada kesempatan manortor pihak tulang
(saudara laki-laki ibu almarhum), menyelimutkan ulos ragi idup langsung
ke badan mayat. Selain itu bona tulang (hula-hula dari pihak
marga saudara laki-laki nenek almarhum) dan bona ni ari (hula-hula
dari pihak marga ibu kakek almarhum) juga memberikan ulos (biasanya ulos
sibolang). Ulos dikembangkan di atas peti mayat, sebagai tanda kasih
sayang yang terakhir. Kemudian pihak hula-hula secara khusus mangulosi
(menyematkan ulos) kepada pihak boru dan hela
(menantu) sebagai simbol pasu-pasu (berkat) yang diucapkannya. Pihak hula-hula
memberikan ulos sibolang sebagai ulos sampetua kepada istri /
suami yang ditinggalkan, dengan meletakkan di atas bahu. Apabila orang yang
mati telah lebih dahulu ditinggalkan istri / suaminya, tentunya ulos
tidak perlu lagi diberikan). Kemudian hula-hula memberikan ulos
panggabei kepada semua keturunan, dengan menyampirkan ulos (sesaat
secara bergantian) di bahu masing-masing anak laki-laki yang tertua sampai yang
paling bungsu (terakhir diberikan kembali ke anak lelaki tertua di sertai
kata-kata berkat). Sama halnya yang dilakukan oleh pihak hula-hula,
pihak tulang dari setiap hasuhuton juga melakukan ritus tersebut.
Kemudian masing-masing wanita dari rombongan tulang
manortor sambil menjunjung boras
sipiritondi (beras tepung tawar yang bermakna pemberian berkat dan memperkuat tondi), untuk kemudian diserahkan kepada pihak hasuhuton. Sedangkan rombongan undangan lainnya (dongan sabutuha, boru, bere, pariban, teman-teman dari pihak hasuhuton) secara bergilir diundang untuk manortor (lihat pada tabel). Namun mereka tidak melakukan ritus pemberian pasu-pasu.
manortor sambil menjunjung boras
sipiritondi (beras tepung tawar yang bermakna pemberian berkat dan memperkuat tondi), untuk kemudian diserahkan kepada pihak hasuhuton. Sedangkan rombongan undangan lainnya (dongan sabutuha, boru, bere, pariban, teman-teman dari pihak hasuhuton) secara bergilir diundang untuk manortor (lihat pada tabel). Namun mereka tidak melakukan ritus pemberian pasu-pasu.
Setelah jambar tor-tor dari semua
pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton
kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar
tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar
hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu
dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor
dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri
upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Setelah semua ritus tersebut selesai
dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan menyerahkan ritual terakhir (acara
penguburan berupa ibadah singkat) kepada pihak gereja. Ibadah bisa dilakukan di
tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi perkuburan. Hal ini
menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan
kedalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya), ibadah singkat dipimpin
oleh pihak gereja. Dapat dimulai dari nyanyian rohani pembuka, kotbah, nyanyian
rohani penutup, dan doa penutup dari pihak gereja. Kemudian jenazah yang sudah
di dalam peti yang tertutup dikuburkan.
Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual
adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan
sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk
diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung
ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa
diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan
atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap
hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua
hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.

Gbr.3
Jenazah didalam peti dikelilingi oleh para
keturunannya (kiri), salah satu gerak tor-tor tengah), prosesi
penguburan diserahkan kepada pihak gereja (kanan)
(sumber : sinaga, 1999)
III. Pembahasan
Semua manusia cepat atau lambat pasti
mati. Kematian datang kapan saja, bisa di usia bayi, kanak-kanak, remaja,
dewasa, dan tua. Seandainya manusia memiliki hak mutlak menentukan kapan dia
harus mati, pasti akan lebih banyak memilih mati di masa ketika sudah sangat
tua. Alasannya karena pada masa itu, segala pencapaian target hidup mungkin
semuanya telah dipenuhi. Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua
yang telah memiliki keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak
sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal
itu terindikasi dari banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan
patung-patung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono,1984:24). Dalam
masyarakat Batak Kristen terkini, model kematian seperti itu dinamakan dengan
kematian saur matua. Namun apakah sudah sejak masa lampau, masyarakat
Batak menganggap kematian saur matua sebagai sebuah kematian yang paling
diinginkan? Hal ini menyangkut pendalaman terhadap rekonstruksi kebudayan
religi masyarakat Batak sebelum masuknya agama Kristen.
Masyarakat Batak pra Kristen percaya bahwa
kematian merupakan masa transisi perpindahan kehidupan alam nyata menuju
kehidupan alam orang mati. Mereka percaya orang yang mati hanya raga, sedangkan
jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain (Siahaan,1964:45).
Campur tangan orang yang masih hidup dibutuhkan dalam membantu orang mati, saat
terjadinya perpindahan alam kehidupan tersebut. Konsep kepercayaan ini
memunculkan daya cipta pengekspresian tingkah laku orang yang ditinggalkan si
mati saat hendak mengantarkan si mati ke alam lain. Hal ini berkembang menjadi
sebuah upacara kematian. Setelah lama dikubur, keluarga yang ditinggalkan
ternyata masih merasa perlu mengekspresikan konsep kepercayaannya itu lagi.
Konsep kepercayaan awal dari hanya untuk mengantarkan si mati ke alam barunya,
berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengannya melalui
ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan. Terbukti,
masyarakat Batak masih mengekspresikannya dalam sebuah upacara penguburan
sekunder mangongkal holi. Istilah sekunder dipakai karena sebelumnya
telah dilakukan upacara penguburan (primer) pada saat kematiannya. Oleh karena
itu, ketika diupacarakan lagi melalui aktivitas penggalian tulang-belulang si
mati dari kubur primer, untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder,
dapatlah disebut sebagai upacara penguburan sekunder (Simatupang,2005:5–6).
Pemujaan hanya dilakukan bagi arwah
leluhur yang dianggap memiliki kuasa-pengaruh yang istimewa, berdasarkan
kekayaan / kedudukan mereka sewaktu hidup (Schreiner,1978:167-168). Maka orang
yang mati saur matua umumnya akan disembah dalam upacara saur matua,
sedikit-dikitnya dari semua anaknya. Terjadi hubungan mutualisme (saling
menguntungkan), karena penyembahan yang diterima arwah orang tua melalui
upacara saur matua dan upacara mangongkal holi dari para
keturunannya akan menambah kekuatan sahala leluhur di alam lain,
sedangkan keturunannya mendapatkan berkat sahala dari orang tua yang
mati tersebut. (Vergouwen,2004:77–78).
Semenjak masuknya agama Kristen hingga
awal berdirinya gereja ditanah Batak (1824-1861), kebudayaan religi masyarakat
Batak mengalami transformasi. Pada masa itu, para misionaris silih berganti
masuk menyiarkan ajaran agama Kristen. Misionaris yang paling terkenal akan
kesuksesan misinya adalah Dr. I. L. Nommensen (memulai tugas misinya pada tahun
1862 di Barus, lalu pindah ke daerah Silindung). Dalam waktu kira-kira lima
puluh tahun sesudah kedatangan Nommensen misi Kristenisasi telah maju pesat.
Ketika Nommensen meninggal pada tahun 1918, lebih dari 180.000 orang Batak
telah dibabtis menjadi orang Kristen dengan 34 orang Batak menjadi pendeta
(Lehman dalam Pedersen,1975:64). Berdirinya gereja HKBP pada tahun 1890
selanjutnya semakin menguatkan pengaruh Kristen pada masyarakat Batak. Tahun
1897 sampai 1952 merupakan masa dimana segala ritual upacara religi pra-Kristen
dilarang untuk dipraktekkan dalam adat Batak. Momentum tahun 1952 dapat
dijadikan sebagai event sosial transformasi, karena sejak tahun 1952 gereja HKBP
melalui berbagai kebijakan yang pada akhirnya memperbolehkan kembali praktek
upacara adat dengan berbagai perubahan sesuai dengan amanat gereja.
Gereja HKBP telah melakukan usaha-usaha
kontekstualisasi dengan mengubah ritual upacara religi pra-Kristen dari
orientasi religius pra-Kristen ke orientasi sosial-budaya masa kini yang tidak
bertentangan dengan ajaran Kristen. Motivasi awal upacara saur matua di
masa pra-Kristen adalah agar kekuatan sahala arwah orang tua
kedudukannya bisa naik terus hingga setingkat dengan para dewa. Maka fungsi itu
telah diubahkan. Upacara saur matua kembali eksis, asal tidak
mempraktekkan ritual penyembahan terhadap orang yang mati tersebut (wawancara
dengan Pdt. B. Tampubolon). Maka prosesi penguburan sebagai akhir upacara, diserahkan
kepada perwakilan gereja. Sedangkan di masa pra-Kristen, yang memimpin upacara
merupakan seorang tokoh dari pihak yang dikenal memiliki tingkatan sahala
diatas rata-rata. Kemungkinan berasal dari kalangan raja adat atau kalangan datu.
Raja adat adalah pimpinan dari sebuah bius (daerah teritorial sebuah
marga) yang dipilih secara demokratis melalui penerapan konsep primus
interpares. Sedangkan datu adalah seorang yang sakti seperti ahli
pengobatan, ahli ramal, dan terutama ahli dalam ilmu agama (Marbun &
Hutapea,1987:38).
Pada masa terkini, semakin tidak jelas apa
yang diwajibkan sebagai perlengkapan yang harus disediakan dalam upacara saur
matua. Sedangkan pada tahun 1980an, bila yang meninggal saur matua
harus lengkap “marsanggul marata” (sijagaron) yang ditaruh dalam ampang
(bakul) terdiri dari: 1. boni sitamba tua (menandakan sudah banyak
turunan), 2. miak-miak (kemiri yang menunjukkan semangat dari nenek
moyang), 3. gantang (menandakan sudah bercicit), 4. baringin (menandakan
punya anak perempuan dan cucu), 5. pira ni manuk (telur ayam yang
menandakan hidup baik), 6. sanggar (menandakan segala pencaharian
almarhum selama ini diperoleh dengan cara baik-baik), 7. ampang
menandakan bahwa yang meninggal adalah saur matua, ampang diletakkan
didekat kepala almarhum, 8.suhut (pihak keluarga yang kemalangan
memberikan adat penghormatan berupa makanan yang terdiri dari : tandok
(sumpit) berisi kemiri 3 buah, telor satu buah, sirih lengkap dan uang dalam
jumlah bilangan genap kepada pargonsi, diterima oleh parsarune
(peniup sarune) sebagai pimpinan rombongan. Kemiri melambangkan semangat roh
nenek moyang, telor melambangkan kesatuan dan hidup baik, uang dan sirih
sebagai (wawancara dengan M. br Sipayung).
Kini masyarakat Batak Kristen memahami
upacara saur matua bukan untuk menyembah si orang tua agar kekuatan sahala
diberikan kepada anak-cucunya, tetapi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas
anugerah umur panjang kepada orang yang mati saur matua. Sedangkan
konsep religi mati saur matua sebagai “kematian ideal” tetap
dipertahankan, karena orientasi sosial budaya masa kini juga menganggap mati di
usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik. Selain itu, motivasi
pengadaan upacara saur matua pada masa kini diarahkan sebagai
pendewasaan rohani secara adat maupun agama baru mereka (Kristen). Hal itu
terwujud karena dalam upacara saur matua, masyarakat Batak dapat
berkumpul dengan seluruh keluarga besar. Gagasan pendewasaan rohani tersebut
mereka dapatkan setelah merefleksikan upacara saur matua menjadi sebuah
bentuk ucapan syukur dari seluruh anak-cucu orang yang mati kepada Tuhan, bukan
lagi kepada arwah leluhur (wawancara dengan Pastor Thomas Saragih, OFM. Cap).
Ada juga masyarakat Batak Kristen yang
tidak setuju terkait kewajiban pelaksanaan upacara saur matua, karena
kurang masuk akal dan tidak jelas tujuannya. Upacara saur matua sebagai
“kematian ideal” menjadi kurang tepat dengan pemahaman iman Kristiani kalau
didominasi oleh keinginan “pamer”. Apalagi sering terjadi, keluarga sudah
“habis-habisan” membiayai perawatan orang tuanya dari mulai sakit-sakitan
hingga meninggal, tapi masih harus “habis-habisan” membiayai upacara saur
matua demi memenuhi tuntutan adat. Seharusnya adat tidak harus dijadikan
beban. Pada masa terkini, berkembang pula pemikiran teologis dari denominasi
Kristen yang berbeda dari HKBP, menyatakan upacara saur matua tidak
penting untuk dilestarikan. Orang yang mati harus segera dikuburkan, tidak
menunggu berhari-hari, apalagi manortor di depan peti terbuka berisi
jenazah yang sudah sembab dan berair. Hal ini dapat merusak kesehatan meskipun
jenazah telah disuntik formalin untuk memperlambat terjadinya pembusukan mayat.
IV. Penutup
Upacara saur matua merupakan
warisan kebudayaan religi masyarakat batak sejak masa megaltik pra-Kristen.
Upacara ini diyakini telah beberapa kali mengalami transformasi sejalan dengan
perubahan yang terjadi pada kebutuhan dan problematika kehidupan dari waktu ke
waktu. Menurut hemat penulis, upacara saur matua hendaknya tetap
dilestarikan terkait dengan konsep “kematian ideal”. Namun hal itu menjadi
sulit, apabila masyarakat Batak Kristen tidak merasakan pengalaman yang
menyenangkan dan bermanfat dari upacara tersebut. Upacara saur matua
harusnya dilakukan dengan tidak membebani secara berlebihan perekonomian
anak-anaknya. Dilakukan dalam ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat umur
yang panjang, hingga saat ajal menjemputnya, masih sempat melihat seluruh
anak-anaknya telah berkelurga (bahkan telah memiliki cucu). Orang yang mati saur
matua adalah sebuah “kebanggaan tersendiri” dalam pencapaian keinginan
terakhir hidup manusia sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial.
Perlu ditumbuhkan sikap kritis, peka, dan arif agar upacara saur matua
terus mengalami transformasi menuju arah yang lebih baik, agar dapat diterima
oleh seluruh lapisan masyarakat Batak (bahkan tidak hanya bagi yang beragama
Kristen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar